Recent Tube

Breaking

Saturday, July 9, 2016

ISPA FARMASI UNTUK PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)



PENDAHULUAN
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang maupun dinegara maju dan sudah mampu dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa.
ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. 40 % – 60 % dari kunjungan diPuskesmas adalah oleh penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % – 30 %. Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan.
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang meng-andung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya. Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada bulan-bulan musim dingin. Tetapi ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene. Risiko terutama terjadi pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan cacing, serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotik.
Tanda-tanda klinis umum
·       Pada sistem pernafasan adalah: napas tak teratur dan cepat, retraksi/ tertariknya kulit kedalam dinding dada, napas cuping hidung/napas dimana hidungnya tidak lobang, sesak kebiruan, suara napas lemah atau hilang, suara nafas seperti ada cairannya sehingga terdengar keras
·       Pada sistem peredaran darah dan jantung : denyut jantung cepat atau lemah, hipertensi, hipotensi dan gagal jantung.
·       Pada sistem Syaraf adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, kejang dan coma.
·       Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.
Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk. Tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai
-----------------------------------------------
*     Disampaikan dalam acara ”Pendidikan FARMASIs Berkelanjutan IAI Cabang Kota Pekalongan, Minggu25 Januari 2015.
**  Apoteker Spesialis FARMASI Rumah Sakit, Staf Instalasi FARMASI RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto.
kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, mendengkur, mengi, demam dan dingin
ISPA FARMASI
Istilah ISPAFARMASI (Pharmaceutical Care) digunakan untuk menyebut ISPA/ layanan keFARMASIan yang luas dan berfokus pada pasien. Hepler dan Strand (1990) mendefinisikan ISPAKeFARMASIan sebagai :
“Profesi FARMASI yang bertanggungjawab terhadap terapi obat dengan tujuan mencapai sasaran terapi obat yang definitive, yaitu peningkatan kualitas hidup pasien”
Termasuk dalam sasaran terapi obat antara lain:
  1. Sembuh dari penyakit;
  2. Hilangnya atau berkurangnya gejala penyakit yang dirasakan pasien;
  3. Menghentikan atau memperlambat proses penyakit;
  4. Mencegah penyakit atau gejala menyakit.
ISPA KeFARMASIan menuntut keahlian di bidang terapetik. Pemahaman yang baik tentang proses penyakit, pengetahuan tentang produk obat, ketrampilan komunikasi yang baik, monitoring penggunaan obat, ketrampilan membuat rencana terapi, dan kemampuan menilai dan menginterpretasi gejala fisik.
Filosofi ISPA KeFARMASIan termasuk:
  1. Mengenali kebutuhan sosial pasien;
  2. Melakukan pendekatan yang berpusat pada pasien;
  3. Mengasuh pasien merupakan modus operandi
  4. Mengemban tanggungjawab khusus untuk mengidentifikasi, mengatasi dan mencegah terjadinya Problem Terapi Obat (Drug Related Problem / Drug Therapy Problem).
INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT
ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris “Acute Respiratory Infections (ARI). ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Penyakit akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas, mulai dari hidung (saluran nafas atas) hingga alveoli paru (saluran nafas bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Istilah ISPA meliputi tiga unsur, yaitu: Infeksi, Saluran Pernafasan, dan Akut, dimana pengertiannya sebagai berikut: INFEKSI; Adalah masuknya kuman ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehinggamenimbulkan penyakit. SALURAN PERNAFASAN; Adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus dan rongga telinga tengah & pleura.INFEKSI AKUT; Adalah infeksi yang langsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukan proses akut meskipun untuk beberapa penyakityang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumoni bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian.
ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene. Risiko terutama terjadi pada anak-anak karena meningkatnya kemungkinan infeksi silang, beban immunologisnya terlalu besar karena dipakai untuk penyakit parasit dan cacing, serta tidak tersedianya atau berlebihannya pemakaian antibiotik.
Klasifikasi ISPA
Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut:
1.   Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam (chest indrawing).
2.   Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.
3.   Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun. Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :
·  Pneumonia: bila terdapat tarikan kuat dinding dada pada bagian bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih.
·  Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat.
Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu :
·  Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tldak menangis atau meronta).
·  Pneumonia: bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah untuk usia 2 -12 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.
·  Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat.
OTITIS MEDIA
            Otitis Media merupakan inflamasi pada telinga bagian tengah dan terbagi menjadi Otitis Media Akut, Otitis Media Efusi dan Otitis Media Kronik. Infeksi ini banyak menjadi problem pada bayi dan anak-anak. Puncak insiden Otitis Media pada anak usia 6 bulan s/d 3 tahun dan diduga penyebabnya adalah obstruksi tuba Eustachius dan sebab sekunder lain yaitu menurun-nya immunokompetensi pada anak.
Patofisiologi
            Disfungsi Tuba Eustachius berkaitan dengan adanya infeksi saluran nafas atas dan alergi. Beberapa anak yang memiliki kecenderungan otitis, akan mengalami 3-4 kali episode otitis pertahun atau otitis media yang terus menerus selama > 3 bulan (Otitis Media Kronik). Otitis media akut biasanya diperparah oleh infeksi pernapasan atas yang disebabkan oleh virus yang menyebabkan oedema pada tuba eustachius. Hal ini berakibat pada akumulasi cairan dan mukus yang kemudian terinfeksi oleh bakteri.
Mikrobiologi
            Pada kebanyakan kasus, otitis media disebabkan oleh virus, namun sulit dibedakan etiologi antara virus atau bakteri berdasarkan presentasi klinik maupun pemeriksaan menggu-nakan otoskop saja. Patogen yang paling umum menginfeksi pada anak adalah Streptococcus pneumonia dengan insidensi 20%-35%, Haemophilus influenza dengan insidensi 20%-30% dan  Moraxella catarrhalis insidensi 20%.
Otitis media kronik terbentuk sebagai konsekuensi dari otitis media akut yang berulang, meskipun hal ini dapat pula terjadi paska trauma atau penyakit lain. Perforasi membrana timpani, diikuti dengan perubahan mukosa (seperti degenerasi polipoid dan granulasi jaringan) dan tulang rawan (osteitis dan sclerosis). Bakteri yang terlibat pada infeksi kronik berbeda dengan otitis media akut, dimana P. aeruginosa, Proteus species, Staphylococcus aureus, dan gabungan anaerob menjadi nyata.
Gejala dan Diagnosis
            Otitis media akut ditandai dengan adanya peradangan lokal, otalgia, otorrhea, iritabili-tas, kurang istirahat, nafsu makan turun serta demam. Otitis media akut dapat menyebabkan nyeri, hilangnya pendengaran, demam, leukositosis. Manifestasi otitis media pada anak-anak kurang dari 3 tahun seringkali bersifat non-spesifik seperti iritabilitas, demam, terbangun pada malam hari, nafsu makan turun, pilek dan tanda rhinitis, konjungtivitis.Otitis media efusi ditandai dengan adanya cairan di rongga telinga bagian tengah tanpa disertai tanda peradang an akut. Manifestasi klinis otitis media kronik adalah dijumpainya cairan (Otorrhea) yang purulen sehingga diperlukan drainase. Otorrhea semakin meningkat pada saat infeksi saluran pernapasan atau setelah terekspose air. Nyeri jarang dijumpai pada otitis kronik. Hilangnya pendengaran disebabkan oleh karena destruksi membrane timpani dan tulang rawan.
Otitis media didiagnosis dengan melihat membrana timpani menggunakan otoscope. Tes diagnostik lain adalah dengan mengukur kelenturan membrane timpani dengan Tympanometer. Dari tes ini akan tergambarkan ada tidaknya akumulasi cairan di telinga bagian tengah. Pemeriksaan lain menggunakan X-ray dan CT-scan ditujukan untuk mengkonfirmasi adanya mastoiditis dan nekrosis tulang pada otitis maligna ataupun kronik.
Penatalaksanaan
Outcome yang ingin dicapai adalah mengurangi nyeri, eradikasi infeksi, dan mencegah komplikasi. Terapi pokok otitis media akut meliputi pemberian antibiotika oral dan tetes bila disertai pengeluaran sekret. Lama terapi adalah 5 hari bagi pasien risiko rendah (yaitu usia > 2 th serta tidak memiliki riwayat otitis ulangan ataupun otitis kronik) dan 10 hari bagi pasien risiko tinggi. Rejimen antibiotika yang digunakan dibagi menjadi dua pilihan yaitu lini pertama dan kedua. Antibiotika pada lini kedua diindikasikan bila: antibiotika pilihan pertama gagal, riwayat respon yang kurang terhadap antibiotika pilihan pertama, hipersensitivitas, Organisme resisten terhadap antibiotika pilihan pertama yang dibuktikan dengan tes sensitifitas, adanya penyakit penyerta yang mengharuskan pemilihan antibiotika pilihan kedua.
Untuk pasien dengan sekret telinga (otorrhea), maka disarankan untuk menambahkan terapi tetes telinga ciprofloxacin atau ofloxacin. Pilihan terapi untuk otitis media akut yang persisten yaitu otitis yang menetap 6 hari setelah menggunakan antibiotika, adalah memulai kembali antibiotika dengan memilih antibiotika yang berbeda dengan terapi pertama. Profilaksis bagi pasien dengan riwayat otitis media ulangan menggunakan amoksisilin 20mg/kg satu kali sehari selama 2-6 bulan berhasil mengurangi insiden otitis media sebesar 40-50%.
Tabel 1. Antibiotika pada Terapi pokok Otitis Media
Antibiotika
Dosis
Keterangan
Lini Pertama


Amoksisilin
Anak: 20-40mg/kg/hari, terbagi dalam 3 dosis; Dewasa:40mg/kg/hari, terbagi dalam 3 dosis
Untuk pasien risiko rendah yaitu: Usia>2th, tidak mendapat antibiotika selama 3 bulan terakhir

Anak: 80mg/kg/hari, terbagi dalam 2 dosis; Dewasa:80mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis
Untuk pasien risiko tinggi
Lini Kedua


Amoksisilin+klavulanat
Anak:25-45mg/kg/hari, terbagi dalam 2 dosis; Dewasa:2x875mg

Kotrimoksazol
Anak: 6-12mg TMP/30-60mg SMX/kg/ hari terbagi dlm 2 dosis; Dewasa: 2 x 1-2 tab

Cefuroksim
Anak: 40mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa:2 x 250-500 mg

Ceftriaxone
Anak: 50mg/kg; max 1 g; i.m.
1 dosis untuk otitis media yang baru
3 hari terapi untuk otitis yang resisten
Cefprozil
Anak: 30mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 250-500mg

Cefixime
Anak:8mg/kg/hari terbagi dlm 1-2 dosis
Dewasa: 2 x 200mg

Terapi penunjang dengan analgesik dan antipiretik memberikan kenyamanan khususnya pada anak. Terapi penunjang lain dengan menggunakan dekongestan, antihistamin, dan kortikosteroid pada otitis media akut tidak direkomendasikan, mengingat tidak memberikan keuntungan namun justru meningkatkan risiko efek samping. Dekongestan dan antihistamin hanya direkomendasikan bila ada peran alergi yang dapat berakibat kongesti pada saluran napas atas. Sedangkan kortikosteroid oral mampu mengurangi efusi pada otitis media kronik lebih baik daripada antibiotika tunggal. Penggunaan Prednison 2 x 5mg selama 7 hari bersama-sama antibiotika efektif menghentikan efusi.
SINUSITIS
Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus paranasal. Peradangan ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa yang biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas. Sinusitis dibedakan menjadi sinusitis akut yaitu infeksi pada sinus paranasal sampai dengan selama 30 hari baik dengan gejala yang menetap maupun berat. Gejala yang menetap yang dimaksud adalah gejala seperti adanya keluaran dari hidung, batuk di siang hari yang akan bertambah parah pada malam hari yang bertahan selama 10-14 hari, yang dimaksud dengan gejala yang berat adalah di samping adanya sekret yang purulen juga disertai demam (bisa sampai 39ºC) selama 3-4 hari. Sinusitis berikutnya adalah sinusitis subakut dengan gejala yang menetap selama 30-90 hari. Sinusitis berulang adalah sinusitis yang terjadi minimal sebanyak 3 episode dalam kurun waktu 6 bulan atau 4 episode dalam 12 bulan. Sinusitis kronik didiagnosis bila gejala sinusitis terus berlanjut hingga lebih dari 6 minggu. Sinusitis bakteri dapat pula terjadi sepanjang tahun oleh karena sebab selain virus, yaitu adanya obstruksi oleh polip, alergi, berenang, benda asing, tumor dan infeksi gigi. Sebab lain adalah immunodefisiensi, abnormalitas sel darah putih dan bibir sumbing.
Patofisiologi
            Serupa dengan otitis media akut, sinusitis bacterial akut biasanya diawali dengan infeksi saluran nafas oleh virus yang menyebabkan inflamasi mukosa saluran nafas. Hal ini dapat menyebabkan obstruksi sinus ostia (saluran pembuangan dari sinus). Akibatnya sekresi mucus sebagai pertahanan local sinus menjadi terhambat. Bakteri mulai tumbuh subur dan menyebab kan infeksi akut.
Mikrobiologi
            Virus merupakan organisme penyebab sebagian besar sinusitis akut. Apabila gejala  menetap persisten lebih dari 7 hari atau gejala bertambah parah, dapat dipastikan terdapat infeksi bakteri sekunder. Sinusitis bakteri akut umumnya berkembang sebagai komplikasi dari infeksi virus saluran napas atas. Bakteri yang paling umum menjadi penyebab sinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis. Patogen yang menginfeksi pada sinusitis kronik sama seperti pada sinusitis akut dengan ditambah adanya keterlibatan bakteri anaerob dan Staphylococcus aureus.
Gejala dan Diagnosis
Tanda lokal sinusitis adalah hidung tersumbat, sekret hidung yang kental berwarna hijau kekuningan atau jernih, dapat pula disertai bau, nyeri tekan pada wajah di area pipi, di antara kedua mata dan di dahi. Tanda umum terdiri dari batuk, demam tinggi, sakit kepala/migraine, serta menurunnya nafsu makan, malaise. Penegakan diagnosis adalah melalui pemeriksaan klinis THT, aspirasi sinus yang dilanjutkan dengan kultur dan dijumpai lebih dari 104/ml koloni bakteri, pemeriksaan x-ray dan CT scan (untuk kasus kompleks). Sinusitis viral dibedakan dari sinusitis bakteri bila gejala menetap lebih dari 10 hari atau gejala memburuk setelah 5-7 hari. Selain itu sinusitis virus menghasilkan demam menyerupai sinusitis bakteri namun kualitas dan warna sekret hidung jernih dan cair.
Komplikasi yang timbul akibat sinusitis yang tidak tertangani dengan baik adalah: Meningitis dan Septikemia. Sedangkan pada sinusitis kronik dapat terjadi kerusakan mukosa sinus, sehingga memerlukan tindakan operatif untuk menumbuhkan kembali mukosa yang sehat.
Penatalaksanaan
Membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas sekret, dan mengeradikasi kuman. Terapi pokok meliputi pemberian antibiotika dengan lama terapi 10-14 hari, kecuali bila menggunakan azitromisin. Secara rinci antibiotika yang dapat dipilih tertera pada tabel 2. Untuk gejala yang menetap setelah 10-14 hari maka antibiotika dapat diperpanjang hingga 10-14 hari lagi. Pada kasus yang kompleks diperlukan tindakan operasi.

Tabel 2. Antibiotika pada Terapi pokok Sinusitis
Antibiotika
Dosis
SINUSITIS AKUT

Lini Pertama

Amoksisilin atau
Amoksisilin-clavulanate
Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis  atau 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis; Dewasa: 3 x 500mg atau 2 x 875 mg
Kotrimoxazol
Anak: 6-12mg TMP/30-60mg dan SMX/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 2tab dewasa
Eritromisin
Anak: 30—50mg/kg/hari terbagi setiap 6 jam; Dewasa: 4 x 250-500mg
Doksisiklin
Dewasa: 2 x 100mg
Lini Kedua

Amoksisilin-clavulanate
Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis; Dewasa: 2 x 875 mg
Cefuroksim
Anak : 30mg/kg/hari dlm 2 dosis; Dewasa: 2 x 500mg
Klaritromisin
Anak:15mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis; Dewasa: 2 x 250mg
Azitromisin
Anak: 10mg/kg pada hari 1 diikuti 5mg/kg selama 4 hari berikutnya;     Dewasa: 1 x 500mg, kemudian 1x250mg selama 4 hari berikutnya.
Levofloxacin
Dewasa:1 x 250-500mg
SINUSITIS KRONIS

Amoksisilin-clavulanate
Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis; Dewasa: 2 x 875 mg
Azitromisin
Anak: 10mg/kg pada hari 1 diikuti 5mg/kg selama 4 hari berikutnya;     Dewasa: 1 x 500mg, kemudian 1x250mg selama 4 hari berikutnya.
Levofloxacin
Dewasa:1 x 250-500mg
Terapi pendukung terdiri dari pemberian analgesik dan dekongestan. Penggunaan antihistamin dibenarkan pada sinusitis yang disebabkan oleh alergi, namun perlu diwaspadai bahwa antihistamin akan mengentalkan sekret. Pemakaian dekongestan topikal dapat mempermudah pengeluaran sekret, namun perlu diwaspadai bahwa pemakaian lebih dari lima hari dapat menyebabkan penyumbatan berulang.
FARINGITIS
Faringitis adalah infeksi akut orofaring atau nasofaring. Peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis, rhinitis dan laryngitis. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 th di daerah dengan iklim panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak.
Patofisiologi
            Faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus Group A belum dapat dijelaskan secara pasti. Diduga karena terjadi penurunan imunitas host (misalnya: terjadi iritasi/kerusakan mukosa orofaring), merangsang timbulnya kolonisasibakteri sehingga menyebabkan infeksi. Faktor patogenik dari mikroorganisme, termasuk toksin pirogenik, hemolycyn, streptokinase dan proteinase, diduga ikut juga berperan mempercepat infeksi.
Mikrobiologi
Faringitis yang paling umum disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes yang merupakan Streptocci Grup A hemolitik. Bakteri lain yang mungkin terlibat adalah Streptocci Grup C, Corynebacterium diphteriae, Neisseria Gonorrhoeae. Streptococcus Hemolitik Grup A hanya dijumpai pada 15-30% dari kasus faringitis pada anak-anak dan 5-10% pada faringitis dewasa. Penyebab lain yang banyak dijumpai adalah nonbakteri, yaitu virus-virus saluran napas seperti adenovirus, influenza, parainfluenza, rhinovirus dan respiratory syncytial virus (RSV). Virus lain yang juga berpotensi menyebabkan faringitis adalah echovirus, coxsackie-virus, herpes simplex virus (HSV). Epstein barr virus (EBV) seringkali menjadi penyebab faringitis akut yang menyertai penyakit infeksi lain. Faringitis oleh karena virus dapat merupakan bagian dari influenza.
Gejala dan Diagnosis
Faringitis mempunyai karakteristik yaitu demam yang tiba-tiba, nyeri tenggorokan, nyeri telan, adenopati servikal, malaise dan mual. Faring, palatum, tonsil berwarna kemerahan dan tampak adanya pembengkakan. Eksudat yang purulen mungkin menyertai peradangan. Gambaran leukositosis dengan dominasi neutrofil akan dijumpai. Khusus untuk faringitis oleh streptococcus gejala yang menyertai biasanya berupa demam tiba-tiba yang disertai nyeri tenggorokan, tonsillitis eksudatif, adenopati servikal anterior, sakit kepala, nyeri abdomen, muntah, malaise, anoreksia, dan rash atau urtikaria. Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan, kultur swab tenggorokan. Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90-95% dari diagnosis, sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis yang diandalkan.
Penatalaksanaan
Mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi penyebaran infeksi serta membatasi komplikasi. Terapi antibiotika ditujukan untuk faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus Grup A, sehingga penting sekali untuk dipastikan penyebab faringitis sebelum terapi dimulai. Terapi dengan antibiotika dapat dimulai lebih dahulu bila disertai kecurigaan yang tinggi terhadap bakteri sebagai penyebab, sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur. Terapi dini dengan antibiotika menyebabkan resolusi dari tanda dan gejala yang cepat. Namun perlu diingat adanya 2 fakta berikut:
  • Faringitis oleh Streptococcus grup A biasanya sembuh dengan sendirinya, demam dan gejala lain biasanya menghilang setelah 3-4 hari meskipun tanpa antibiotika.
  • Terapi dapat ditunda sampai dengan 9 hari sejak tanda pertama kali muncul dan tetap dapat mencegah komplikasi.
Sejumlah antibiotika terbukti efektif pada terapi faringitis oleh Streptococcus grup A, yaitu mulai dari Penicillin dan derivatnya, cefalosporin maupun makrolida. Penicillin tetap menjadi pilihan karena efektivitas dan keamanannya sudah terbukti, spektrum sempit serta harga yang terjangkau. Amoksisilin menempati tempat yang sama dengan penicilin, khususnya pada anak dan menunjukkan efektivitas yang setara. Lama terapi dengan antibiotika oral rata-rata selama 10 hari untuk memastikan eradikasi Streptococcus, kecuali pada azitromisin hanya 5 hari. Berikut ini adalah panduan pemilihan antibiotika yang dapat digunakan. Untuk infeksi yang menetap atau gagal, maka pilihan antibiotika yang tersedia adalah eritromisin, cefaleksin, klindamisin ataupun amoksisilinklavulanat.
Terapi suportif faringitis non-streptococcus dengan menggunakan parasetamol atau ibuprofen, disertai kumur menggunakan larutan garam hangat atau gargarisma khan. Jangan menggunakan aspirin pada anak-anak karena dapat meningkatkan risiko Reye’s Syndrome. Tablet hisap yang mengandung antiseptik untuk tenggorokan dapat pula disarankan.
BRONKHITIS
Bronkhitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial. Peradangan tidak meluas sampai alveoli. Bronkhitis seringkali diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Bronkhitis akut mungkin terjadi pada semua usia, namun bronkhitis kronik umumnya hanya dijumpai pada dewasa. Pada bayi penyakit ini dikenal dengan nama bronkhiolitis. Bronkhitis akut umumnya terjadi pada musim dingin, hujan, kehadiran polutan yang mengiritasi seperti polusi udara, dan rokok.
Patofisiologi
Penularan bronkhitis melalui droplet. Faktor risiko terjadinya bronkhitis adalah sebagai berikut: Merokok, Infeksi sinus dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan atas dan menimbulkan batuk kronik, Bronkhiektasi, Anomali saluran pernapasan, Foreign bodies,  Aspirasi berulang. Komplikasi jarang terjadi kecuali pada anak yang tidak sehat. Komplikasi meliputi antara lain PPOK, bronkhiektasis, dilatasi yang bersifat irreversible dan destruksi dinding bronkhial.
Mikrobiologi
Penyebab bronkhitis akut umumnya virus seperti rhinovirus, influenza A dan B, coronavirus, parainfluenza, dan respiratory synctial virus (RSV). Ada pula bakteri atypical yang menjadi penyebab bronkhitis yaitu Chlamydia pneumoniae ataupun Mycoplasma pneumoniae yang sering dijumpai pada anak-anak, remaja dan dewasa. Bakteri atypical sulit terdiagnosis, tetapi mungkin menginvasi pada sindroma yang lama yaitu lebih dari 10 hari. Penyebab bronkhitis kronik berkaitan dengan penyakit paru obstruktif, merokok, paparan terhadap debu,polusi udara, infeksi bakteri.
Gejala dan Diagnosis
Bronkhitis memiliki manifestasi klinik sebagai berikut: Batuk yang menetap yang bertambah parah pada malam hari serta biasanya disertai sputum. Rhinorrhea sering pula menyertai batuk dan ini biasanya disebabkan oleh rhinovirus; Sesak napas bila harus melakukan gerakan eksersi (naik tangga, mengangkat beban berat); Lemah, lelah, lesu; Nyeri telan (faringitis); Laringitis, biasanya bila penyebab adalah Chlamydia; Nyeri kepala; Demam pada suhu tubuh yang rendah yang dapat disebabkan oleh virus influenza, adenovirus ataupun infeksi bakteri; Adanya ronchii; Skin rash dijumpai pada sekitar 25% kasus.
Diagnosis bronkhitis dilakukan dengan cara: Tes C- reactive protein (CRP) dengan sensitifitas sebesar 80-100%, namun hanya menunjukkan 60-70% spesifisitas dalam mengidentifikasi infeksi bakteri. Metode diagnosis lainnya adalah pemeriksaan sel darah putih, dimana dijumpai peningkatan pada sekitar 25% kasus. Pulse oksimetri, gas darah arteri dan tes fungsi paru digunakan untuk mengevaluasi saturasi oksigen di udara kamar. Pewarnaan Gram sputum tidak efektif dalam menentukan etiologi maupun respon terhadap terapi antibiotika.
Penatalaksanaan
Tanpa adanya komplikasi yang berupa superinfeksi bakteri, bronkhitis akut akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tujuan penatalaksanaan hanya memberikan kenyamanan pasien, terapi dehidrasi dan gangguan paru yang ditimbulkannya. Namun pada bronkhitis kronik ada dua tujuan terapi yaitu: pertama, mengurangi keganasan gejala kemudian yang kedua menghilangkan eksaserbasi dan untuk mencapai interval bebas infeksi yang panjang. Terapi antibiotika pada bronkhitis akut tidak dianjurkan kecuali bila disertai demam dan batuk yang menetap lebih dari 6 hari, karena dicurigai adanya keterlibatan bakteri saluran napas seperti S. pneumoniae, H. Influenzae. Untuk batuk yang menetap > 10 hari diduga adanya keterlibatan Mycobacterium pneumoniae sehingga penggunaan antibiotika disarankan. Untuk anak dengan batuk > 4 minggu harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut terhadap kemungkinan TBC, pertusis atau sinusitis. Lama terapi Antibiotika 5-14 hari sedangkan pada bronkhitis kronik optimalnya selama 14 hari. Pemberian antiviral amantadine dapat berdampak memperpendek
lama sakit bila diberikan dalam 48 jam setelah terinfeksi virus influenza A.
Sementara terapi penunjang antara lain: Stop rokok, karena rokok dapat menggagalkan mekanisme pertahanan tubuh; Bronkhodilasi menggunakan salbutamol, albuterol;  Analgesik atau antipiretik menggunakan parasetamol, NSAID; Antitusiv, codein atau dextrometorfan untuk menekan batuk; Vaporizer
PNEUMONIA
Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yang dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit. Pneumonia menjadi penyebab kematian tertinggi pada balita dan bayi serta menjadi penyebab penyakit umum terbanyak17. Pneumonia dapat terjadi sepanjang tahun dan dapat melanda semua usia. Manifestasi klinik menjadi sangat berat pada pasien dengan usia sangat muda, manula serta pada pasien dengan kondisi kritis.
Patofisiologi
            Mikroorganisme dapat mencapai saluran nafas bagian bawah melalui 3 (tiga) cara,yaitu: melalui jalur inhalasi dalam bentuk partikel aerosol, melalui peredaran darah dari infeksi ekstra paru atau aspirasi melalui jalur orofaring (mayoritas infeksi melalui jalur ini). Ketika mekanisme defensif paru dalam kondisi normal, maka aspirasi baketri tersebut tidak akan menimbulkan kolonisasi bakteri. Pembersihan paru dari kuman melalui fungsi makrofag dan aktivitas muko-siliaris saluran nafas (rangsangan bersin dan batuk). Infeksi virus dapat melemahkan pertahanan paru dan dapat mengakibatkan pneumonia bakteri sekunder
Mikrobiologi
Mikroorganisme penyebab pneumonia meliputi: bakteri, virus, mycoplasma, chlamydia dan jamur. Pneumonia oleh karena virus banyak dijumpai pada pasien immunocompromised, bayi dan anak. Virus-virus yang menginfeksi adalah virus saluran napas seperti RSV, Influenza type A, parainfluenza, adenovirus. Ditinjau dari asal patogen, maka pneumonia dibagi menjadi tiga macam yang berbeda penatalaksanaannya, yaitu:
1.   Community Acquired Pneumonia (CAP); Merupakan pneumonia yang didapat di luar rumah sakit atau panti jompo. Patogen umum yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia, H. influenzae, bakteri atypical, virus influenza, respiratory syncytial virus (RSV). Pada anak-anak pathogen yang biasa dijumpai sedikit berbeda yaitu adanya keterlibatan Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, di samping bakteri pada pasien dewasa.
2.   Nosokomial Pneumonia; Merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di rumah sakit. Patogen yang umum terlibat adalah bakteri nosokomial yang resisten terhadap antibiotika yang beredar di rumah sakit. Biasanya adalah bakteri enterik golongan gram negatif batang seperti E.coli, Klebsiella sp, Proteus sp. Pada pasien yang sudah lebih dulu mendapat terapi cefalosporin generasi ke-tiga, biasanya dijumpai bakteri enterik yang lebih bandel seperti Citrobacter sp., Serratia sp., Enterobacter sp.. Pseudomonas aeruginosa merupakan pathogen yang kurang umum dijumpai, namun sering dijumpai pada pneumonia yang fulminan. Staphylococcus aureus khususnya yang resisten terhadap methicilin seringkali dijumpai pada pasien yang dirawat di ICU.
3.   Pneumonia Aspirasi; Merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi secret oropharyngeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan. Patogen yang menginfeksi pada Community Acquired Aspiration Pneumoniae adalah kombinasi dari flora mulut dan flora saluran napas atas, yakni meliputi Streptococci anaerob. Sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae bakteri yang lazim dijumpai campuran antara Gram negatif batang + S.aureus + anaerob.
Gejala dan Diagnosis
Pneumonia didiagnosis berdasarkan tanda klinik dan gejala, hasil pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologis, evaluasi foto x-ray dada. Gambaran adanya infiltrate dari foto x-ray merupakan standar yang memastikan diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis dengan “shift to the left”. Sedangkan evaluasi mikrobiologis dilaksanakan dengan memeriksa kultur sputum (hati-hati menginterpretasikan hasil kultur, karena ada kemungkinan terkontaminasi dengan koloni saluran pernapasan bagian atas). Pemeriksaan mikrobiologis lainnya yang lazim dipakai adalah kultur darah, khususnya pada pasien dengan pneumonia yang fulminan, serta pemeriksaan Gas Darah Arteri (Blood Gas Arterial) yang akan menentukan keparahan dari pneumonia dan apakah perlu-tidaknya dirawat di ICU.
Penatalaksanaan
Eradikasi mikroorganisme penyebab pneumonia, penyembuhan klinis yang paripurna.
Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit sesuai patogen.
Community-Acquired Pneumonia (CAP)
Terapi CAP dapat dilaksanakan secara rawat jalan. Namun pada kasus yang berat pasien dirawat di rumah sakit dan mendapat antibiotika parenteral. Pilihan antibiotika yang disarankan pada pasien dewasa adalah golongan makrolida atau doksisiklin atau fluoroquinolon terbaru. Namun untuk dewasa muda yang berusia antara 17-40 tahun pilihan doksisiklin lebih dianjurkan karena mencakup mikroorganisme atypical yang mungkin menginfeksi. Untuk bakteri Streptococcus pneumoniae yang resisten terhadap penicillin direkomendasikan untuk terapi beralih ke derivate fluoroquinolon terbaru. Sedangkan untuk CAP yang disebabkan oleh aspirasi cairan lambung pilihan jatuh pada amoksisilin-klavulanat. Golongan makrolida yang dapat dipilih mulai dari eritromisin, claritromisin serta azitromisin. Eritromisin merupakan agen yang paling ekonomis, namun harus diberikan 4 kali sehari. Azitromisin ditoleransi dengan baik, efektif dan hanya diminum satu kali sehari selama 5 hari, memberikan keuntungan bagi pasien. Sedangkan klaritromisin merupakan alternatif lain bila pasien tidak dapat menggunakan eritromisin, namun harus diberikan dua kali sehari selama 10-14 hari.
Untuk terapi yang gagal dan tidak disebabkan oleh masalah kepatuhan pasien, maka disarankan untuk memilih antibiotika dengan spektrum yang lebih luas. Kegagalan terapi dimungkinkan oleh bakteri yang resisten khususnya terhadap derivat penicillin, atau gagal mengidentifikasi bakteri penyebab pneumonia. Sebagai contoh, pneumonia atypical melibatkan Mycoplasma pneumoniae yang tidak dapat dicakup oleh penicillin. Beberapa pneumonia masih menunjukkan demam dan konsistensi gambaran x-ray dada karena telah terkomplikasi oleh adanya efusi pleura, empyema ataupun abses paru yang kesemuanya memerlukan penanganan infasif yaitu dengan aspirasi.
Pneumonia Nosokomial
Pemilihan antibiotika untuk pneumonia nosokomial memerlukan kejelian, karena sangat dipengaruhi pola resistensi antibiotika baik in vitro maupun in vivo di rumah sakit. Sehingga antibiotika yang dapat digunakan tidak heran bila berbeda antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain. Namun secara umum antibiotika yang dapat dipilih sesuai tabel 6.1.
Terapi pendukung pada pneumonia meliputi:
  • Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang menunjukkan tanda sesak, hipoksemia.
  • Bronkhodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme
  • Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum
  • Nutrisi
  • Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral
  • Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam
  • Nutrisi yang memadai.
BAHAN BACAAN
  1. Fatimah Umar, Arel St. Iskandar, Widyati, Soewaldi. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan. Departemen Kesehatan RI 2005.
  2. Cipolle Robert, Strand Linda, Morley Peter. Pharmaceutical CarePractice. Mc Graw Hill. New York 1998:1-26.
  3. Kradjan Wayne, Koda-Kimble Mary Anne, Young Lloyd. Assessment Therapy and Pharmaceutical Care. In: Applied Therapeutics. Lippincott Williams. Philadelphia. 2001: 1-7 – 1-8. 
  4. Di Piro JT, Talbert RL, Yee GC, et al. Pharmacotherapy: A Patophysiological Approach. Seventh Edition. Mc Graw Hill. New York, 2008.\
  5. Kuliah Profesi Budi Raharjo*
  6.  

No comments:

Post a Comment

728