Recent Tube

Breaking

Sunday, May 7, 2017

FARMAKOTERAPI DIABETES MELLITUS



Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit gangguan metabolisme karbohidrat kronis dengan multi etiologi, yang ditandai dengan tingginya kadar gula dalam plasma darah disertai gangguan metabolisme lemak dan protein akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar pancreas, atau disebabkan oleh kurangnya responsivitas sel-sel tubuh terhadap insulin.
            Menurut data WHO, Indonesia berada pada urutan ke empat setelah negara India, China dan Amerika Serikat dalam hal jumlah penderita Diabetes Mellitus. Tahun 2000 penderita diabetes di Indonesia sebesar 8.426.000 dan diperkirakan menjadi sebesar 21.257.000 pada tahun 2030 atau meningkat sampai 152% dalam kurun waktu 30 tahun. Data yang dikumpulkan Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sejak Mei 2009 hingga Februari 2011 menunjukkan terdapat 590 anak dan remaja berusia di bawah 20 tahun yang menjadi penyandang diabetes tipe 1 di seluruh Indonesia.
Data ini diperkirakan merupakan puncak gunung es sehingga jumlah penderita yang sesungguhnya di populasi tentu lebih banyak lagi yang masih belum terdeteksi. Data tersebut menggambarkan kondisi Indonesia saat ini telah menjadi negara “siaga Diabetes Mellitus

PATOFISIOLOGI

Pankreas merupakan organ utama yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat. Secara histologi, terdiri dari sel islet Langerhans dan acini. Terda-pat tiga tipe sel islet Langerhans, yaitu: sel alfa, sel beta dan sel delta. Sel alfa mensekresi hormon glucagon sebagai respon dari penurunan kadar gula dalam darah. Sedangkan sel beta menghasilkan hormon insulin sebagai respon dari peningkatan kadar gula dalam darah melebihi 100 mg/dL.
Dalam keadaan normal, metabolisme karbohidrat yang di atur oleh ke-dua hormon tersebut (glucagon dan insulin), akan menjamin kadar gula darah berada pada kisaran yang cukup agar dapat menyuplai kebutuhan glukosa dari sel-sel susunan saraf pusat. Insulin dapat menurunkan kadar gula dalam darah dengan cara: Menghambat glikogenolisis (konversi glikogen menjadi glukosa); Menstimulasi lipogenesis (memfasilitasi masuknya glucosa ke dalam jaringan lemak dan otot); dan Menstimulasi glicogenesis (penyimpanan glucosa menjadi cadangan gula glikogen).  Ketika  kadar  gula  dalam  darah  menurun,  sel alfa mengeluarkan glucagon dan menstimulasi hormon-hormon counterregulatory (misalnya hormon kortisol, adrenalin, growth hormone), yang semuanya itu dapat meningkatkan kadar gula darah dengan cara: Menstimulasi glikogenolisis (konversi cadangan glikogen menjadi glucosa dalam darah); Menstimulasi glukoneogenesis (konversi asam amino, gliserol dan asam laktat menjadi gluco-sa dalam darah); diikuti dengan lipolisis (pembongkaran lemak menjadi asam lemak).
Pada penderita Diabetes Mellitus, otomatisasi pengaturan kadar gula dalam darah tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Secara ringkas DM terjadi akibat terjadinya insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin ini disebabkan oleh 2 hal, yaitu: Gangguan produksi insulin oleh Langerhans sel beta pancreas; atau Menurunnya kepekaan reseptor insulin dalam sel-sel tubuh. Kerusakan sel beta Langerhans sering dapat mengganggu produksi insulin. Sedangkan menurunnya kepekaan reseptor insulin sel-sel tubuh sering berkaitan dengan obesitas pada pasien. 
KLASIFIKASI PENYAKIT DM
Klasifikasi DM mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dahulu DM diklasifikasikan berdasarkan time of onset. Sehingga dikenal adanya “Juvenile diabetes” untuk DM yang muncul sejak masa kanak-kanak dan “Adult Diabetes” untuk DM yang muncul setelah umur 45 tahun. Klasifikasi ini sudah tidak dipergunakan lagi. Terakhir WHO pada tahun 1985 mengajukan revisi klasifikasi Diabetes Mellitus dan menggunakan terminology Diabetes Mellitus tipe 1 dan tipe 2. Selain itu WHO juga menyebut 3 (tiga) tipe lain dari DM yaitu: Diabetes tipe lain; Impaired Glucose Tolerance (IGT); dan Gestational Diebetes Mellitus (GDM).
Diabetes Mellitus Tipe 1; merupakan tipe DM yang jarang populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10%, dari keseluruhan populasi penderita DM. Umumnya karena kerusakan sel beta Langerhans yang disebabkan oleh reaksi Autoimun. Virus (Cocksakie, Rubella, CMV, Herpes, dll) dapat pula menyebab-kan kerusakan pada sel beta pancreas. 
Diabetes Mellitus Tipe 2; merupakan tipe DM yang lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan DM Tipe 1. Populasi penderita DM tipe 2 berkisar 90-95% dari keseluruhan populasi. Etiologi DM tipe 2 merupakan multi factor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetic dan lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain: obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.
DIAGNOSIS

Seseorang didiagnosis DM bila memenuhi kriteria: Terdapat gejala klasik DM yaitu Poliuria (banyak kencing terutama malam hari), Polidipsia (selalu ingin minum/selalu haus), Polifagia (banyak makan/selalu lapar) & penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya; Disertai keluhan lain seperti: badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal di kulit, mata kabur, disfungsi erek-si pada pria dan pruritus vulvae pada genitalia wanita. Gejala klasik tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pemeriksaan kadar gula dalam plasma atau kadar gula dalam darah. Bila kadar gula dalam darah sewaktu (GDS) > 200 mg/dL atau kadar gula dalam plasma saat puasa (8-10 jam puasa) > 126 mg/dL maka sudah cukup untuk menegakkan diagnosis Diabetes Mellitus. Kriteria diagnosis dapat dilihat dalam tabel 1. Pasien dengan IFG atau IGT termasuk dalam risiko tinggi yang kemudian dapat berkembang menjadi Diabetes, oleh sebab itu dimasukan dalam kriteria “Pra Diabetes

 Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM

Diagnosis
Kadar Glucosa Plasma Puasa
Kadar Gula dalam Plasma
2 Jam Post Prandial (OGTT)
Kadar HbA1C
Normal
< 100 mg/dL (5,6 mmol/L)
< 140 mg/dL (7,8 mmol/L)
< 5,7 %
Pra Diabetes:
*  IFG
100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L)
-
5,7 – 6,4 %
Pra Diabetes:
*  IGT
-
> 140 mg/dL (> 7,8 mmol/L) dan
< 200 mg/dL (< 11,1 mmol/L)
Diabetes
> 126 mg/dL (> 7 mmol/L)
> 200 mg/dL (> 11,1 mmol/L)
> 6,5 %
OGTT = Oral Glucosa (75 gram) Tolerance Test; IFG = Impaired Fasting Glucose;
IGT = Impaired Glucose Tolerance 
Fraksi Hemoglobin yang terglikosilasi (HbA1C atau A1C) merupakan indikator yang dapat mengetahui kadar gula darah selama beberapa bulan terakhir. Tidak seperti kadar gula dalam darah, indikator A1C cukup stabil, tidak perlu berpuasa dulu dan tidak dipengaruhi oleh patologi tubuh seperti stres, dan lain-lain. Terdapat perbedaan A1C sesuai dengan ras/suku bangsa. Interpretasi A1C dalam keadaan penyakit anemia tertentu memerlukan ketelitian khusus.


KOMPLIKASI PENYAKIT DM
Para Diabetesi sangat rentan terkena komplikasi dari penyakit DM setiap waktu. Semua professional kesehatan sepakat bahwa control gula darah yang ketat akan dapat mengurangi risiko terjadinya komplikasi. Bahkan control yang sangat baik sekalipun tidak dapat menghilangkan seluruh komplikasi yang akan terjadi. Self Monitoring Blood Glucose merupakan peluang bagi Apoteker. Alat pengukuran kadar gula dapat disediakan di Instalasi Farmasi beserta stick-nya. Selain itu Farmasis dapat memberikan motivasi agar kadar GD terus berada dalam kisaran normal, sehingga komplikasi dapat dicegah atau diringankan Komplikasi DM dapat mengenai organ mata, ginjal, saraf, pembuluh darah besar dan kecil, seperti pada table 2.


Kondisi hiperglikemia yang lama akan menyebabkan kerusakan jaringan, baik melalui akumulasi dan perubahan metabolisme seluler yang reversibel (sehingga menimbulkan komplikasi akut) dan melalui perubahan makromolekul jaringan yang irreversibel (sehingga menimbulkan komplikasi kronis). Banyak teori yang dipergunakan untuk menjelaskan mekanisme biokimia terjadinya komplikasi tersebut. Semua teori mekanisme diawali dengan kondisi hiperglikemia yang cukup tinggi dan lama. Terdapat 4 teori mekanisme biokimia yang umumnya dipresentasikan, antara lain: 1) Aktivasi jalur polyol; 2) Aktivasi Protein Kinase C (PKC); 3) Pembentukan produk akhir “Protein Terglikasi”; dan 4) Peningkatan Stress akibat Oksigen

Tabel 2. Komplikasi Penyakit DM

Komplikasi

Organ yang Terkena

Penyakit Arteri Koronaria

Jantung

Dermatopati

Kulit

Makroangiopati

Pembuluh Darah Besar

Mikroangiopati

Pembuluh Darah Kecil

Penyakit Pembuluh Darah Perifer

Pembuluh Darah di Kaki

Penyakit Cerebrovaskuler (Stroke)

Pembuluh Darah di Otak

Infeksi

Sel Leukosit

Nefropati, Disfungsi bladder

Ginjal, Genitourinaria

Neuropati

Saraf

Retinopati, Katarak

Mata (retina, lensa)

Disfungsi Ereksi

Pembuluh Darah di Penis


No comments:

Post a Comment

728